22 April 2024

Silaturahmi Idulfitri dan Acara Bani-Bani


Hari Raya Idulfitri selalu menjadi ajang silaturahmi, baik bagi perantau dengan sanak kerabat di rumahnya maupun atau bagi penduduk setempat atau pemukim dengan saudara dan tetangganya. Ajang silaturahmi ini dimulai sejak hari pertama Lebaran (1 Syawal) dan berlangsung hingga hari ke-3, ke-4, atau malah ada yang baru selesai setelah hari ke-8, alias Hari Raya Ketupat, yaitu hari rayanya orang yang berpuasa syawal selama 6 hari.


Pada praktiknya, belakangan, ajang silaturahmi ‘berkembang’. Salah satu tanda perkembangan itu adalah dibentuknya pertemuan bani. Yang dimaksud “bani” di sini adalah perkumpulan anak keturunan seberinda dari seseorang yang sepuh (yang biasanya dijadikan nama baninya). Bani yang kita pahami dimaknai sebagai “anak keturunan”, tidak seperti pengertian asalnya yang berasal dari Bahasa Arab, di mana bani selalu berkaitan dengan “keturunan dari jalur laki-laki”. Di Indonesia, Madura khususnya, kata bani diambil dari bahasa Indonesia dengan pengertian Indonesia, yakni keturunan saja, tidak mempedulikan dari jalur ayah atau ibu.
 

Pertemuan Bani Fattaqi di PP Sekar Anyar

Tujuan pertemuan bani ini adalah merawat famili, menjaga silaturahmi. Di Jawa, acara semacam itu bisa disebut “syawalan” karena selalu diacarakan pada bulan Syawal, sementara di Madura, tidak demikian. Selain, Syawal, banyak acara pertemuan bani ini dibulan yang lain, baik dipastikan tanggal bulannya maupun secara berkala dan temporal.
 
Adapun rangkaian acaranya adalah tahlil (mendokan buyut, kakek, orangtua, pini sepuh, dll). Selebihnya, acaranya adalah perkenalan antar-anggota, foto bersama, dan ramah tamah. Setiap pertemuan, antar-famili menjadi semakin akrab dan terkadang berlanjut ke hubungan bisnis atau ikatan pertunangan. Sesama bani yang mungkin sudah berjauhan tempat tinggalnya—karena ikut istri atau ikut suami—kadang saling menawarkan diri untuk dihampiri di momen tersebut, tentu saja jika salah satu anggota bani sedang bepergian atau sedang melakukan perjalanan dan melintasi rumahnya, atau memang sengaja hendak berkunjung ke rumahnya. Adapun acara tambahan yang lain disesuaikan dengan keadaan dan situasi masing-masing penyelenggara yang berbeda-beda kebiasaannya.

Pengalaman berlebaran saya tahun ini malah lebih meriah, lebih lama. Penyebabnya adalah bertambahnya dua pertemuan keluarga yang baru (karena saya menikah dengan orang yang baru; dari dua jalur, mertua laki-laki dan mertua perempaun), juga karena adanya perubahan penyelenggaraan pertemuan bani dari keluarga besar almarhumah—istri yang sudah wafat—yang tahun ini dipindah, dari tanggal 9 ke tanggal 9 syawal dan berpindah lokasi). Jadinya, nyaris setiap hari (kecuali hari ke-7 saya di rumah), saya pergi bersilaturahmi. 

ketemu dengan famili baru di Maron, Probolinggo


Dari pengalaman ini, saya merasakan adanya manfaat dan keunggulan pertemuan bani-bani ini, antara lain dapat menghemat waktu silaturahmi. Kunjungan seseorang yang biasanya harus datang ke rumah per rumah, sekarang cukup datang ke satu tempat yang ditentukan, dibarengkan dengan acara pertemuan bani yang biasanya dilaksanakan secara bergilir, setiap tahun. Persatuan bani ini dikuatkan oleh hubungan ikatan famili atau ikatan darah. Warga Madura yang terkenal sangat erat dalam merawat dan menjaga hubungan familinya menjadi tempat bani-bani tumbuh dan berkembang. Hal ini mungikin berbeda dengan di tempat lain, di Jawa misalnya, yang meskipun ada pertemuan seperti itu tapi tidak seseru pertemuan bani-bani di Madura dan area Tapal Kuda.

Tentu saja, efek lainnya juga ada, sosialnya juga ada, ewuh-pakewuh terhadap yang lebih kaya. Kesenjangan sosial pastilah muncul di acara seperti ini, kecuali di lingkungan sangat dekat yang memang biasa bertemu setiap hari. Sebab itu, dalam kondisi seperti ini, yang status sosialnya lebih tinggi (lebih kaya, lebih berpangkat) memang sewajarnya harus lebih dulu menyambut, jangan justru menjauh.

Acara seperti ini menjadi salah satu pelaksanaan anjuran silaturahmi yang berpijak pada banyak hadis Nabi. Lebih dari itu, silaturahmi dalam pertemuan bani-bani ini lebih terjamin ‘kemurnian’ tujuannya silaturahminya. Soalnya, tidak jarang silaturahmi dijadikan ‘kambing hitam’: menyatakan silaturahmi tapi sebetulnya hendak pinjam uang.


19 April 2024

BEBERAPA ATURAN TIDAK TERTULIS SEPUTAR ACARA & PENATA ACARA

PERHATIAN: artikel ini sebetulnya saya tulis untuk Ikatan Alumni Annuqayah supaya dibuat catatan ketika menyelenggarakan acara. Jika masyarakat umum merasa perlu menggunakannya juga, bisa ditambah atau dikurangi, disesuaikan dengan keadaan dan kondisi lingkungannya

1) Kordinator acara SEHARUSNYA memastikan lebih dulu kesiapan pengisi acara (terutama untuk sesi acara yang lumayan penting dalam persiapannya, seperti yang akan memimpin tahlil [pada acara haul] atau yang akan memberikan mauizah hasanah [pada acara walimatul ursy] sehingga tidak ada kesan main todong karena itu kurang elok ketika direkam oleh kamera dan diketahui publik, apalagi pengisi acara sampai menyampaikan hal-hal yang tidak perlu disampaikan [seperti berkata “sebetulnya saya tidak siap, tapi karena saya dipaksa untuk berkata-kata...” atau sebetulnya saya tidak menyangka akan diminta untuk begini dan begini...”] ke muka umum).

2) Penata acara SEBAIKNYA dan menjalin komunikasi dengan kordinator acara sehingga mengetahui rentetan acara secara detil, siapa saja yang berhalangan, dan siapa saja penggantinya.

3) Penata acara SEHARUSNYA mencatat nama-nama pengisi acara dengan sangat tepat/benar (seperti penyebutan Kiai Bushiri Ali Mufi [sering disebut secara keliru dengan “Abusiri”]). Dulu, juga kadang terjadi pada nama—Allah yarhamh—Kiai Warits (meskipun nama beliau itu Drs. KH. “Abdul Warits Ilyas”, tapi biasa disebut dengan Drs. KH. “A. Warits Ilyas”), bahkan beliau itu sangat detil dengan menganjurkan pembawa acara agar menyebut nama “Annuqayah” dengan sedikit dipanjangkan, menjadi “Annuqaaayah” supaya lebih tepat. Demikian pula, penyebutan gelar (seperti S.Ag, atau M. Hum, atau S.Pd.I) tidak begitu penting dicantumkan pada acara-acara non-akademik. Penyebutan gelar (seperti) "kiai haji" tidak boleh salah, apalagi sampai direvisi (seperti ucapan pembaca acara "akan disampaikan oleh kiai haji Sibaweh, maaf, saya ulangi: kiai Sibaweh" sebab itu kurang elok). Demi alasan “keselamatan dari kekeliruan”, sebut saja nama-nama pengisi acara (terutama bagi yang tidak diketahui secara pasti) hanya dengan sebutan "kiai" tanpa embel-embel yang lain dan itu sudah benar dan akan “lebih aman”

4) Moderator SEHARUSNYA membaca biodata narasumber lebih dulu sehingga ketika memimpin acara dan memperkenalkan nara sumbernya, ia tidak akan gelagapan di saat membaca curriculum vitae-nya (ini sering terjadi, dianggap sepele, sehingga sering salah saat membaca).

5) Moderator atau kordinator acara SEBAIKNYA tidak perlu meminta CV kepada narasumber di saat acara sudah akan dilaksanakan. Lebih elok jika dia mencari data-data narasumber sendiri sebelumnya dan narasumber cukup mengonfirmasi kebenaran datanya menjelang acara dimulai (Bukankah seorang narasumber itu diundang karena si pengundang telah tahu CV dan kapasitas si narasumber tersebut sebelumnya? Jika begitu, lalu untuk apa meminta CV pada saat acara akan berlangsung?)

6) Grup hadrah/rohah/banjari SEBAIKNYA tidak perlu terus-menerus ditampilkan (pembukaan, tengah acara, pasca-acara) karena hal itu akan menurunkan marwahnya sebagai tim pembaca shalawat dan juga akan membuat tuan rumah/panitia tidak bisa bersilaturahmi dengan kiai-kiai (karena bising).
 
7) Tata suara (sound system) SEBAIKNYA dikontrol saat sebelum acara dan/atau setelah acara usai agar ada jeda untuk berbincang-bincang (tidak terlalu bising). Di saat acara usai, seperti pada saat makan-makan, tata suara dimatikan, atau dinyalakan tapi dengan volume yang kecil sehingga hadirin akan merasa nyaman untuk memanggil temannya atau berbincang-bincang, toh acaranya sudah selesai.

8) Tata suara SEBAIKNYA diatur agar menghadap ke hadirin, bukan memunggungi hadirin (seperti diletakkan di belakang dan menghadap ke depan), dan sebaiknya juga ada kontrol ke narasumber / pengisi acara. Cobalah perhatikan acara-acara besar, mana ada speaker/sound system yang memunggungi hadirin? Tata suara pasti menghadap/mengarah ke telinga hadirin dari arah depan, bukan dari arah belakang. Kejadian seperti ini sering terjadi sehingga meskipun suaranya lantang, tapi hasil suara tidak jelas, bahkan terkadang pengisi acara/penceramah malah tidak mendengar suaranya sendiri dengan jelas. Acapkali terjadi, di acara-acara pernikahan/walimah, tata suara hanya didengar oleh kalangan pria, sementara kalangan putri tidak mendengar sama sekali.

9) Pembawa acara, meskipun suaranya bagus, SEHARUSNYA tidak perlu ikut-ikutan mengikuti atau meningkahi pengisi acara, seperti pada saat mahallul qiyam, misalnya. Pembawa acara hanya bertugas menjadi pengatur acara, bukan merangkap jadi backing vocal.

SEMOGA BERMANFAAT. SILAKAN DIPERTIMBANGKAN, DIPERBAIKI, DITAMBAH, ATAU DIKURANGI!



16 Maret 2024

Berempati di Rumah Sakit

 

Hari ini, 16 Maret 2024, hari kelima Ramadan, saya pergi ke Pamekasan. Dalam perjalanan berangkat, sehabis shalat asar, jalan tampak sesak, berbeda dengan 30 menit sebelumnya. Nyare malem atau ngabuburit ternyata masih jadi kegiatan favorit masyarakat. Benar ada yang pergi untuk beli bekal puasa, tapi kiranya lebih banyak lagi orang yang jalan-jalan sore menggunakan kendaraan tanpa tujuan yang jelas kecuali hanya menghabiskan waktu sembari menunggu maghrib.


Di Talang Siring, pantai yang terletak di perbatasan Sumenep-Pamekasan, beberapa anak muda tampak nongkrong, tidak banyak. Masuk kota Pamekasan, pukul 15.45, lalu lintas semakin banyak. Ramai sekali jalan raya. Saya lanjut ke selatan, menuju rumah sakit. Tujuan saya adalah menjenguk Anam yang sedang menunggu embahnya yang sedang sakit dan ada di ICU.


Di rumah sakit, kerumunan orang banyak sekali. Yang membedakan dengan hari-hari biasa; mereka duduk berkelompok dan tidak merokok dan juga tidak makan-makan. Dua aktivitas ini biasanya jadi pemandangan lazim di mana-mana, di hari biasa, di sepanjang koridor rumah sakit. Sore itu, orang tampak tertib, tepatnya, dipaksa tertib oleh bulan Ramadan. Meskipun mungkin satu dua orang ada yang tidak berpuasa, tapi di Madura, orang-orang lebih tertib dan menghargai bulan puasa sehingga tidak sembarangan menampakan diri kalau mereka sedang tidak berpuasa.


Sekitar 30 menit saya di sana, saya sudah cukup dapat berempati dan merasakan, betapa tidak enaknya berada di rumah sakit. Di hari-hari biasa saja terasa sangat berat dan lelah, apalagi di bulan puasa. Saatnya bersyukur sebanyak-banyaknya karena telah diberi kesehatan lahir dan batin sehingga bisa bergerak dan menikmati hari-hari dengan begitu leluasa.


Dalam perjalanan pulang, satu jam sebelum maghrib, saya berjumpa dengan beberapa kerumunan di Talang Siring. Tadi, waktu berangkat, tempat itu masih biasa, relatif sepi, tapi ketika pulang, tempat itu sudah dijadikan tempat nongkrong dan balapan/drag. Kebiasaan seperti ini memang berlangsung seperti itu sejak dulu, sejak puluhan tahun lalu. Beberapa aparat tampak memegang kayu, mengancam anak-anak muda yang nongkrong dan hendak balapan. Aparat siap menghalau untuk segera membubarkan kerumaunan dan atau mungkin juga dipentungkan jika terpaksa. Nongkrong memang tidak diperkenankan di dalam Islam (Al-A’raf 66) karena dikhawatirkan dapat membuat risih orang yang melintas, tapi cenderung dianggap biasa oleh orang-orang.


Tiba di rumah, azan maghrib berkumandang. Terasa nikmat hidup ini, makanya, saya tidak segera makan, hanya menelan takjil dan menikmati beberapa suap nasi saja, tidak sampai kenyang, berusaha berempati terhadap mereka yang sudah menjalani hari ini dengan susah payah di rumah sakit.

08 Maret 2024

Sekolah Pranikah dan Tingginya Angka Perceraian


 

Ada puluhan (atau bahkan mungkin ratusan—belum pernah menghitung soalnya) ayat tentang pernikahan di dalam Alquran. Saya hanya memperkirakan bahwa ayat-ayat tentang pernikahan itu memang sangat banyak. Secara sepintas, jumlah itu dapat diraba karena para mubalig membicarakan ini di atas panggung, para penulis mengutipnya di dalam esai dan artikel, dan para motivator menyampaikannya di seminar-seminar. Kenyataan ini menunjukkan, betapa sakral dan krusialnya pernikahan itu.

Pernikahan adalah ibadah paling tua, dimulai sejak Nabi Adam dan disempurnakan aturannya di masa kerasulan terakhir, Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, ironisnya, dibandingkan ritual ibadah yang lain, pernikahan justru yang paling tidak diperhatikan. Kantor Urusan Agama telah lama mengurus ini, namun para calon pengantin justru sangat, atau bahkan sama sekali, tidak merasa perlu menyiapkan diri untuk masuk ke jenjang kehidupan barunya, kehidupan pasca-pernikahan. Pernikahan itu seolah-olah hanya urusan akad dan pesta, selesai.

Pada sisi lain mata koin pernikahan, terdapat fenomena perceraian. Datanya, di Indonesia, sungguh tidak masuk akal. Dari 2 juta akad yang tercatat dalam satu semester saja, nyaris 25%-nya (hampir 500.000 kasus) gagal menjalin ikatan dan jatuh dalam perceraian. Data di atas adalah data empat tahun yang silam, dan pada tahun yang lalu (2023), angkanya meningkat. Bisa jadi, data masih akan terus membengkak di masa yang akan datang jika pola dan aturan mainnya masih terus seperti yang sudah-sudah.

Jika data faktor penyebab perceraian yang tersiar di Pengadilan Agama adalah tidak adanya kecocokan lagi antar-pasangan, sebetulnya tidak sesederhana itu kenyataannya. Pasti ada hal-hal prinsip yang melatarbelakanginya. Mana mungkin upaya saling-mengenal antar-pasangan selama 5 tahun sebelum menikah—misalnya—harus berakhir seumur jagung setelah menikah? Maka wajarlah jika pertanyaan-pertanyaan syak-wasangka bermunculan: Mengapa tidak cocok justru setelah baru saja menikah? Mengapa tidak sanggup mempertahankan? Apa penyebab ketidakcocokan jika memang telah saling mengenal? Adakah yang salah saat perkenalan atau adakah yang salah dalam mempertahankan?

Inilah sebagian latar belakang dan alasan saya mendirikan Sekolah Pra-Nikah. Gagasan ini, alhamdulillah, bisa terlaksana berkat kerjasama antara BPM Annuqayah, Pokja (Kelompok Kerja) Desa Guluk-Guluk, dan Madaris 3 Annuqayah. Dimulai awal tahun 2023, di bulan kedua 2024, SPN sudah meluluskan angkatan yang ketiga (angkatan terakhir 45 orang). Pesertanya adalah para santri senior yang siap menikah serta beberapa warga dekat di luar pondok.

Secara teknis, SPN ditempuh dalam 12 tatap muka (masing-masing 1 jam pemaparan dan 15-30 menit diskusi). Duabelas kali tatap muka ini diasosiasikan mata kuliah 1 semester. Adapun materinya mencakup pengenalam umum tentang pernikahan, cara memilih pasangan, konflik, managemen konflik internal dan sosial, pengenalan dan pembagian wilayah tanggung jawab dalam keluarga, kehamilan dan reproduksi, termasuk hubungan intim. Sebab itulah, salah satu persyaratan peserta adalah usia siap menikah, yaitu di kisaran 23-25 tahun. Sejauh ini, para peserta adalah mahasiswa semester akhir atau baru wisuda.

Nara sumber untuk setiap sesi/pertemuan berbeda-beda latarnya. Ada nara sumber umum (untuk materi umum), penyuluh, bidan, dokter (untuk seksologi), psikolog, juga nyai dan kiai. Acapkali pembicara harus tandem dengan pembicara yang lain (seperti pada sesi reproduksi dan haid/isihadah) demi ketercapaian kurikulum Sekolah Pra-Nikah yang mengharuskan banyak kisi yang perlu dibahas.

Dalam salah satu sesinya, pernah terlontar celetukan, mempertanyakan, mengapa pasangan si A dan si B akur-akur saja sampai tua, padahal mereka menikah secara mendadak di masa muda, sementara ada pasangan lain yang menjalin hubungan sangat lama sebelum menikah tapi ternyata pernikahannya hanya seumur jagung. Statemen seperti ini sebetulnya juga sering muncul di kalangan masyarakat awam karena mereka tidak menyadari bahwa “kenyataan dan pernyataan itu selalu diambil dari kasus kebanyakan, bukan kasus perkecualian” . Dalam hal ini, mempersiapkan pernikahan itu jauh lebih baik daripada tidak mempersiapkannya. Rumusnya, yang mempersiapkan pernikahan dipastikan akan lebih baik dalam mempertahankan institusi keluarga (yang memang rentan mendapatkan gangguan eksternal) daripada mereka yang tidak mempersiapkannya sama sekali. Jika ada pasangan yang tanpa persiapan tapi ternyata kehidupannya berjalan (seakan-akan) baik, maka itu hanyalah perkecualian saja. Kasusnya bisa jadi hanya satu di antara seratus, atau bahkan satu di dalam seribu.

SPN diproyeksikan sebagai proyek kemaslahatan utama menuju pernikahan ideal, sebagai penanaman batu fondasi untuk mencapai status sakinah, mawadah, dan rahmah. SPN adalah ikhtiar, dan oleh karena itulah kita bisa pasrah setelah melakukannnya. Menerima takdir baru benar jika kita telah berusaha dengan maksimal. Dan dalam pernikahan, SPN adalah salah satu ikhtiar yang dimaksudkan itu.



Mari dibayangkan! Seorang sarjana S1 harus menempuh masa studi antara 3-4 tahun. Sekarang, renungkan, bagaimana mungkin seseorang akan menempuh jalinan seumur hidup dengan pasangan yang tidak pernah tinggal bersama sebelumnya, dari keluarga yang berbeda pula, dari latar yang juga berbeda, dan dengan sekian banyak perbedaan yang lain yang melatarbelakanginya, mampu lulus dengan baik jika tanpa persiapan sama sekali? Kiranya, ini saja sudah cukup menjadi alasan bahwa sekolah pranikah itu perlu diselenggarakan oleh lembaga-lembaga umum dan pondok pesantren entah seperti apa pun bentuknya.

Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti ini, sebetulnya kita melakukan ikhtiar untuk menyelamatkan satu institusi keluarga dari perbuatan yang meskipun halal namun paling tidak disukai oleh Allah swt.



Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) bani (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturahmi (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) syawalan (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog