Pagi ini, 23 Juli 2025, saya mencoba melakukan hal-hal seperti orang dulu lakukan, pergi tanpa pemberitahuan lebih dulu kepada orang yang akan dikunjungi. Orang dulu, biasanya menggunakan telepati untuk janjian. Ada juga yang disambungkan dengan mengirim Al-Fatihah lebih dulu. Ada pula yang menggunakan isyarat-isyarat batin dan tengara alam (seperti adanya seekor kucing yang menyeberang dari arah kanan ke kiri konon itu menandakan tuan rumah sedang tidak di tempat). Walhasil, saya tidak berjumpa dengan kedua orang itu di pagi yang dingin ini.
Meskipun jarak dari rumah saya ‘hanyalah’ 3 kilometer ke rumah Nasir, namun karena letaknya bukan berada di (dekat) lintasan yang sering saya lewati, maka pergi ke Nasir tentu hanya dilakukan jika kita hendak pergi ke Nasir, bukan sambil lalu pergi ke siapa dan mampir ke rumahnya, misalnya. Beda dengan ketika saya hendak pergi ke rumah saudara yang rumahnya berjarak 21 kilometer dari rumah, seperti rumah Bibi Sum. Karena letaknya berada di dekat jalan yang saya lewati kalau ke Pamekasan atau Surabaya, maka pergi ke rumah Bibi Sum akan lebih sering dan lebih mudah ketimbang saya pergi ke rumah Nasir.
Saat ini, kita ini agak susah untuk saling sambang. Di samping karena sama-sama sibuk, kita juga kurang sempat karena hiburan sudah ada di rumah, malah di dalam genggaman. Dulu, silaturahmi itu bagian dari hiburan, bukan sekadar menjalankan perintah Nabi agar saling menyambung tali famili. Sampai suatu saat saya pernah menggalakkan kegiatan “arnaw”, sebuah kegiatan menyambangi sanak kerabat tanpa ada maksud apa pun kecuali sekadar bertamu saja, bersilaturahmi, tidak ada kepentingan politik (minta dukungan karena mau nyaleg) maupun ekonomi (pinjam uang). silaturahmi, di masa dulu, bahkan termasuk dari basic human needs yang sekarang berganti kepada beras, fashion, dan internet. Nah, yang saya lakukan di pagi ini juga diiming-imingi kesan dari masa lampau tersebut.
Dari rumah Nasir, saya menjalanan sepeda motor atas bimbingan
Sekitar 05.30, saya mampir di rumah Hamid, di ‘masjid kembar’, masjid pernah (dan mungkin juga sedang) punya masalah (semoga segera selesai dan nyaman lagi dalam ibadah). Kebetulan, beliaunya tidak di rumah, mungkin ke tegalan atau ke entah, biarlah. Saya pun kembali ke selatan dan melanjutkan perjalanan ke arah timur, naik ke selatan, lalu kembali ke timur, dan seterusnya. Saya melewati SDN Rombiya Timur III yang jalannya amburadul hingga tiba di ujung jalan yang akhirnya berbelok ke kiri. Di pojok itu ada toko dan tak jauh di selatannya ada masjid.
Setelah sepeda motor mengarah ke utara, maka saya tak ragu lagi, sebentar lagi, mungkin 2 km lagi, saya akan kembali bertemu jalan raya kolektor Bluto-Guluk-Guluk. Benarlah rupanya, saya datang dari arah selatan Somber Rajeh, sebuah sumber air orang dusun yang kini dikelola desa dan menjadi tempat wisata. Dari titik itu, saya pulang, ke arah barat dan sampai di rumah pukul 05.50. Ada ada waktu ngaso 10 menit sebelum pukul 6, jam pengajian kitab Taklimul Mutaallim.
Dari perjalanan ini saya berpikir, betapa banyaknya tempat yang asing bagi saya bahkan itu hanya berjarak kurang dari 6 kilometeran dari rumah saya. Di jalur yang saya lewati, saya tidak kenal orang-orang setempat, situasi pedesaannya, alam dan lingkungannya. Ya, perjalanan pagi ini adalah perjalanan saya di rute itu sejak saya lahir ke buka Bumi sejak 50 tahun yang lalu. Saya lantas merasa ada sesuatu yang keliru ketika baru saja menerbitkan buku yang mengisahkan perjalanan saya naik angkutan umum di pulau-pulau besar di Indonesia, tapi ke jalan rusak desa tetangganya saja baru lewat untuk yang pertama.