23 Juli 2025

Empatpuluh Lima Menit Refleksi Pagi di Atas Sadel Sepeda Motor

Setelah selesai nyimak Alquran harian bakda Subuh, saya cek jam, masih tersisa 45 menit menuju pukul 6, yaitu waktu untuk mengajar Taklimul Mutaallim. Maka, saya segera ambil bonus waktu itu untuk mengunjungi Nasir. Tujuan ke Nasir adalah bertanya alamat rumah Hafid. Tujuan ke Hafid adalah kepentingan otomotif. Mungkin terlalu pagi, saya tidak bertemu dengan tuan rumah, hanya disambut oleh kamera CCTV-nya yang mengintai dari posisi tersembunyi. Pada pukul 05.23, saya pun pergi meninggalkannya. Dengan sendirinya, tujuan ke Hafid pun gagal.



Pagi ini, 23 Juli 2025, saya mencoba melakukan hal-hal seperti orang dulu lakukan, pergi tanpa pemberitahuan lebih dulu kepada orang yang akan dikunjungi. Orang dulu, biasanya menggunakan telepati untuk janjian. Ada juga yang disambungkan dengan mengirim Al-Fatihah lebih dulu. Ada pula yang menggunakan isyarat-isyarat batin dan tengara alam (seperti adanya seekor kucing yang menyeberang dari arah kanan ke kiri konon itu menandakan tuan rumah sedang tidak di tempat). Walhasil, saya tidak berjumpa dengan kedua orang itu di pagi yang dingin ini.

Meskipun jarak dari rumah saya ‘hanyalah’ 3 kilometer ke rumah Nasir, namun karena letaknya bukan berada di (dekat) lintasan yang sering saya lewati, maka pergi ke Nasir tentu hanya dilakukan jika kita hendak pergi ke Nasir, bukan sambil lalu pergi ke siapa dan mampir ke rumahnya, misalnya. Beda dengan ketika saya hendak pergi ke rumah saudara yang rumahnya berjarak 21 kilometer dari rumah, seperti rumah Bibi Sum. Karena letaknya berada di dekat jalan yang saya lewati kalau ke Pamekasan atau Surabaya, maka pergi ke rumah Bibi Sum akan lebih sering dan lebih mudah ketimbang saya pergi ke rumah Nasir.

Saat ini, kita ini agak susah untuk saling sambang. Di samping karena sama-sama sibuk, kita juga kurang sempat karena hiburan sudah ada di rumah, malah di dalam genggaman. Dulu, silaturahmi itu bagian dari hiburan, bukan sekadar menjalankan perintah Nabi agar saling menyambung tali famili. Sampai suatu saat saya pernah menggalakkan kegiatan “arnaw”, sebuah kegiatan menyambangi sanak kerabat tanpa ada maksud apa pun kecuali sekadar bertamu saja, bersilaturahmi, tidak ada kepentingan politik (minta dukungan karena mau nyaleg) maupun ekonomi (pinjam uang). silaturahmi, di masa dulu, bahkan termasuk dari basic human needs yang sekarang berganti kepada beras, fashion, dan internet. Nah, yang saya lakukan di pagi ini juga diiming-imingi kesan dari masa lampau tersebut.

Dari rumah Nasir, saya menjalanan sepeda motor atas bimbingan filsafat firasat saja, tanpa Google Maps. Ketika ada percabangan jalan, saya mempertimbangkan jalan yang sekiranya lebih sering dilewati manusia berdasarkan tumbuhan rumput dan kerakal yang berlepasan di atas permukaannya. Yang pertama saya singgahi setelah itu adalah rumah Hamid.  

Sekitar 05.30, saya mampir di rumah Hamid, di ‘masjid kembar’, masjid pernah (dan mungkin juga sedang) punya masalah (semoga segera selesai dan nyaman lagi dalam ibadah). Kebetulan, beliaunya tidak di rumah, mungkin ke tegalan atau ke entah, biarlah. Saya pun kembali ke selatan dan melanjutkan perjalanan ke arah timur, naik ke selatan, lalu kembali ke timur, dan seterusnya. Saya melewati SDN Rombiya Timur III yang jalannya amburadul hingga tiba di ujung jalan yang akhirnya berbelok ke kiri. Di pojok itu ada toko dan tak jauh di selatannya ada masjid.

Setelah sepeda motor mengarah ke utara, maka saya tak ragu lagi, sebentar lagi, mungkin 2 km lagi, saya akan kembali bertemu jalan raya kolektor Bluto-Guluk-Guluk. Benarlah rupanya, saya datang dari arah selatan Somber Rajeh, sebuah sumber air orang dusun yang kini dikelola desa dan menjadi tempat wisata. Dari titik itu, saya pulang, ke arah barat dan sampai di rumah pukul 05.50. Ada ada waktu ngaso 10 menit sebelum pukul 6, jam pengajian kitab Taklimul Mutaallim.

Dari perjalanan ini saya berpikir, betapa banyaknya tempat yang asing bagi saya bahkan itu hanya berjarak kurang dari 6  kilometeran dari rumah saya. Di jalur yang saya lewati, saya tidak kenal orang-orang setempat, situasi pedesaannya, alam dan lingkungannya. Ya, perjalanan pagi ini adalah perjalanan saya di rute itu sejak saya lahir ke buka Bumi sejak 50 tahun yang lalu. Saya lantas merasa ada sesuatu yang keliru ketika baru saja menerbitkan buku yang mengisahkan perjalanan saya naik angkutan umum di pulau-pulau besar di Indonesia, tapi ke jalan rusak desa tetangganya saja baru lewat untuk yang pertama.



07 Juli 2025

Screenshot dan Kengawuran

Blog ini bernama “Kormeddal”. Saya ngeblog sejak tahun 2005, namun nama ini dipilih kemudian. Kata orang Madura tempatan, di Sumenep setahu saya, kata ‘kormeddal’ ini maknanya sama dengan waton dalam bahasa Jawa, yaitu  asal, tanpa pikir panjang, asal bunyi, karena arti kormeddal sendiri adalah asal memancal kaki ke atas pedal yang secara simpelnya dapat dipahami sebagai “asal berangkat, tanpa banyak pertimbangan”. Orang terkini menyebutnya “asal ngegas”. Penyebutan istilah ini mungkin karena sekarang memang lebih banyak sepeda motor daripada sepeda kayuh.

Tujuan akun blog ini, pada mulanya, adalah untuk menuliskan celoteh yang muncul secara mendadak di pikiran, yang mungkin tidak perlu pendalaman dalam permenungan. Wajarlah jika yang direncakan terbit dalam blog ini adalah renungan atas kehidupan sehari-hari. Biasanya, saya menulis tidak lama setelah menjumpai peristiwa atau suatu renungan secara impulsif.

Bertahun-tahun lalu, saya tidak pernah terpikir akan menghadapai era digital seperti sekarang, saat orang lebih menyukai miniblog seperti Facebook, atau media sosial yang lain seperti X atau IG. Di media sosial yang disebut, sekarang, kesembronoan orang dalam menulis saya kira sudah melampaui batas, setidaknya melampaui imajinasi saya ketima membuat blog ini, dulu. Nyaris setiap hari saya menjumpai komentar-komentar yang benar-benar instan, asal bunyi, tidak ada rasa malu pada kedangkalan pengetahuan yang dimiliki, bahkan tidak lagi mempedulikan pada kapasitas orang yang dikomentari dan pada saat yang sama juga tidak mempertimbangkan kapasitas dirinya dalam melihat persoalan. Rasanya, menjadi wajar jika disebut bahwa di zaman ini kepakaran sudah mulai mati perlahan-lahan, disuntik mati oleh akun-akun media sosial.

Kasus hukum terkini adalah hukum sound horeg, tata suara yang suaranya sangat keras (yang desibel-nya mungkin sudah di atas angka toleransi telinga normal manusia). Pernyataan pertama yang dilempar ke publik adalah fatwa haram dari hasil bahsul masail di PP Besuk Pasuruan, dan disampaikan oleh Kiai Muchib Aman. Di foto ini (dan ini hanya sebagian saja), ada dua nama yang berkomettar pedas terhadap hasil bahsul masail itu. Bayangkan, banyaknya referensi yang digunakan untuk merujuk hukum, waktu yang dipakai, serta diskusi panjang untuk membuat keputusan, ternyata hanya cukup ditolak dengan 10 kata saja, itupun dengan caci maki.

Kita ini harus sedih melihat kenyataan seperti ini. Mengapa makin banyak orang yang begitu mudah ngomong sesuatu tanpa kapasitas. Ini malapetaka.
Tidak setuju, ya, tidak setuju, tidak suka, ya, tidak suka, sebagaimana judi difatwakan haram namun tetap banyak yang melakukannya, tapi kan bukan dengan asbun atau kormeddal seperti itu caranya?

Produk hukum dari bahsul masail adalah karya ilmiah, hasil diskusi, renungan dan perdebatan panjang untuk menghasilkan formula hukum. Bahsul masail umumnya adalah untuk menjawab persoalan terkini dengan pandangan yang relevan. Maka, untuk menghargai prosesnya, kita harus menghargai diri kita juga dengan meletakkan posisi kita sesuai kapasitasnya. Janganlah kita mati terus dan hanya meninggalkan screenshot orang-orang atas kecerobohan kita, sementara gambar itu terus beredar, sedangkan kita sudah puluhan tahun dikuburkan.

Blog ini bernama “Kormeddal”. Saya ngeblog sejak tahun 2005, namun nama ini dipilih kemudian. Kata orang Madura tempatan, di Sumenep setahu saya, kata ‘kormeddal’ ini maknanya sama dengan waton dalam bahasa Jawa, yaitu  asal, tanpa pikir panjang, asal bunyi, karena arti kormeddal sendiri adalah asal memancal kaki ke atas pedal yang secara simpelnya dapat dipahami sebagai “asal berangkat, tanpa banyak pertimbangan”. Orang terkini menyebutnya “asal ngegas”. Penyebutan istilah ini mungkin karena sekarang memang lebih banyak sepeda motor daripada sepeda kayuh.

Tujuan akun blog ini, pada mulanya, adalah untuk menuliskan celoteh yang muncul secara mendadak di pikiran, yang mungkin tidak perlu pendalaman dalam permenungan. Wajarlah jika yang direncakan terbit dalam blog ini adalah renungan atas kehidupan sehari-hari. Biasanya, saya menulis tidak lama setelah menjumpai peristiwa atau suatu renungan secara impulsif.

Bertahun-tahun lalu, saya tidak pernah terpikir akan menghadapai era digital seperti sekarang, saat orang lebih menyukai miniblog seperti Facebook, atau media sosial yang lain seperti X atau IG. Di media sosial yang disebut, sekarang, kesembronoan orang dalam menulis saya kira sudah melampaui batas, setidaknya melampaui imajinasi saya ketima membuat blog ini, dulu. Nyaris setiap hari saya menjumpai komentar-komentar yang benar-benar instan, asal bunyi, tidak ada rasa malu pada kedangkalan pengetahuan yang dimiliki, bahkan tidak lagi mempedulikan pada kapasitas orang yang dikomentari dan pada saat yang sama juga tidak mempertimbangkan kapasitas dirinya dalam melihat persoalan. Rasanya, menjadi wajar jika disebut bahwa di zaman ini kepakaran sudah mulai mati perlahan-lahan, disuntik mati oleh akun-akun media sosial.

Kasus hukum terkini adalah hukum sound horeg, tata suara yang suaranya sangat keras (yang desibel-nya mungkin sudah di atas angka toleransi telinga normal manusia). Pernyataan pertama yang dilempar ke publik adalah fatwa haram dari hasil bahsul masail di PP Besuk Pasuruan, dan disampaikan oleh Kiai Muchib Aman. Di foto ini (dan ini hanya sebagian saja), ada dua nama yang berkomettar pedas terhadap hasil bahsul masail itu. Bayangkan, banyaknya referensi yang digunakan untuk merujuk hukum, waktu yang dipakai, serta diskusi panjang untuk membuat keputusan, ternyata hanya cukup ditolak dengan 10 kata saja, itupun dengan caci maki.

Kita ini harus sedih melihat kenyataan seperti ini. Mengapa makin banyak orang yang begitu mudah ngomong sesuatu tanpa kapasitas. Ini malapetaka.
Tidak setuju, ya, tidak setuju, tidak suka, ya, tidak suka, sebagaimana judi difatwakan haram namun tetap banyak yang melakukannya, tapi kan bukan dengan asbun atau kormeddal seperti itu caranya?

Produk hukum dari bahsul masail adalah karya ilmiah, hasil diskusi, renungan dan perdebatan panjang untuk menghasilkan formula hukum. Bahsul masail umumnya adalah untuk menjawab persoalan terkini dengan pandangan yang relevan. Maka, untuk menghargai prosesnya, kita harus menghargai diri kita juga dengan meletakkan posisi kita sesuai kapasitasnya. Janganlah kita mati terus dan hanya meninggalkan screenshot orang-orang atas kecerobohan kita, sementara gambar itu terus beredar, sedangkan kita sudah puluhan tahun dikuburkan.




 

27 Juni 2025

Menonton Kasokan




Melihat senarai acaranya, ide pentas ini unik dan menarik, bahkan juga eksentrik, berbeda dari yang sudah-sudah. Konser yang dibuka dengan pembacaan Ratib Syaikhona, ya, inilah Ritmik Madura. Sekelompok anak muda dari Bangkalan, menamakan diri Kasokan, membuat album Nata Aba’ sekaligus klip video bahkan hingga pertunjukkan empat kotanya secara berangkai. Mereka memulai sila-tour-ahmi mereka dari timur, dari Sumenep. Acaranya ditempatkan di depan Museum Keraton Sumenep, tanggal 14 Juni 2025 yang lalu. 



Saya hadir di acara itu yang sayangnya tidak terlalu banyak penontonnya kecuali jika orang-orang yang berseliweran di area panggung dihitung juga sebagai bagiannya. Kurangnya informasi saya kira menjadi alasan utama mengapa situasi seperti ini bisa terjadi, padahal tata panggung, pencahayaan, terutama tata suaranya, disajikan dengan sangat baik, sangat-sangat baik. Januar Herwanto, salah satu warga yang hadir, menyatakan ‘kesayangannya’ juga. “Kok bisa acara sekeren ini terlewat oleh orang-orang, ya!” keluhnya. Ia juga menambahkan, “Mestinya mereka main di Java Jazz saja.”

Setidaknya, ada tiga hal yang saya catat terkait pertunjukan perdana mereka di Sumenep. Pertama, komitmen kemaduraan. Di antara visi dan misi yang dibawakan oleh kelompok dengan 19 personel dengan seabrek alat musik ini adalah spirit “kemaduraan”, termasuk mengusung revitalisasi bahasa ibu, Bahasa Madura, yang di dalamnya terkandung ‘ajaran’ bhasa alos terhadap orang tua dan orang-orang yang dianggap lebih tua. Kedua, pertunjukan diawali oleh pembacaan doa, dalam hal ini Ratib Syaikhona Kholil. Pengalaman ini menghadirkan antitesis yang terlanjur menempel pada konser, keberisikan dan hura-hura. Dengan cara seperti ini, pertunjukan Kasokan menghadirkan energi yang berbeda. Ketiga, kolaborasi. Mereka melibatkan artis dan seniman lokal untuk tampil. Langkah ini saya kira sangat bagus, semacam bentuk ghalanon terhadap tuan rumah.

Catatan saya untuk konser Sumenep (karena artikel ini ditulis sebelum konser kedua mereka dilaksanakan di Pamekasan, jadi saya belum bisa menulis ulasan pertunjukan di Pamekasan yang kabarnya akan melibatkan Musik Daul Sekar Kedathon, Sanggar Seni Makan Ati, Eros Van Yasa, dan Paramuda Keroncong), apresiasi penonton masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan persiapan mereka yang sudah ada di level megah: panggung yang besar dan tata suara yang sangat jernih. Seperti disampaikan di atas, poster dan pengumuman yang disebarkan terlalu dekat dengan hari H sehingga tidak banyak yang tahu, serta gangguan iklim yang sifatnya tidak dapat diterka (hujan mengguyur H-2 dan H-1). Nah, untuk sesi Pamekasan, konser akan diselenggarakan pada Sabtu 28 Juni 2025 [dan mereka mengagendakan pertunjukannya ini per dua pekan sampai tuntas empat kabupaten: Sampang 12 Juli, Bangkalan 26 Juli, semuanya di hari sabtu, malam minggu]).

 



Saya menaruh apresiasi yang tinggi untuk mereka dan album terbaru mereka, Nata Aba’, yang dalam pengamatyan saya (sebagai pendengar dan penonton) sederhana secara materi namun fundamental dalam misi. Komposisi dan bebunyiannya sangat kompleks, hal ini juga disebabkan karena personel serta alat musik yang banyak. Kiranya, kini saatnya kita memberikan apresiasi untuk sebuah pertunjukan yang cenderung reflekif, alih-alih hura-hura dan berisik semata. Saya kira, Kasokan ini sudah berada di jalur yang dapat saya gambarkan slogannya dalam sebuah statemen: “Jika selama ini konser membuatmu lupa, maka yang ini akan membuatmu ingat!”.


02 Mei 2025

Menghadiri Satu Abad Syaikhona Cholil


JUMAT, 11 April 2025, saya naik AKAS NR dari Pakamban, pukul 15.33. Mestinya, jam itu adalah saat MILA Sejahtera jurusan Jogjakarta melintas. Kok AKAS yang datang? Ya, sudah, saya cegat saja, khawatir kalau masih ngotot menunggu MILA akan semakin telat saya tiba di Bangkalan.

 

Ongkos bis dari Prenduan ke Tangkel itu beragam: 45.000 ikut AKAS NR; MILA biasanya 46.000, sedangkan AKAS Green kayaknya 50.000. Perjalanan saya ke Bangkalan adalah untuk menghadiri acara Satu Abad Syaikhona Kholil yang diselenggarakan di Mertajasa, Bangkalan. 

 Saya sampai di Tangkel sudah masuk waktu isya, agak telat, sih. Jumat sore selalu begitu. Jalanan pasti ramai dan lalu lintas tersendat karena banyak penglaju yang mudik, memanfaatkan libur Sabtu dan Ahad.

 

Kernet AKAS menurunkan saya di pertigaan (Pos Polisi Tangkel), padahal saya bilang halte Trans-Jatim. Kalau saya mau buruk sangka, saya akan menganggap kru AKAS cemburu para kehadiran “TJ” (Trans-Jatim) karena telah mengusik jatah penumpang bis-bis reguler seperti mereka. Maklum, tarif Surabaya-Bangkalan hanya Rp5000 untuk bis Koridor 5 “Cakraningrat”, sedangkan AKAS berkisar Rp30.000. Saya berusaha melupakan itu dengan cara segera berjalan kaki menuju selter, kira-kira 200 meter dari tempat ‘keturunan’ tadi.

 

Seorang ibu muda yang tadi turun bareng saya dari bis kini duduk bersebelahan di halte. Dari tadi dia gulung-gulung layar ponselnya, buka WhatsApp atau entah media sosial apa lainnya. Tiba-tiba dia bilang bahwa bis sudah nyampe Morkepek.

“Ini ada dua rentengan. Nanti biasanya satu saja yang singgah.

Kok ibu tahu?

Ada di aplikasi, kok, Mas” kata dia sambil menunjukkan ponselnya (sepertinya Vivo) kepada saya yang memegang NOKIA 8110. Seketika saya merasa wakil anggota keluarga besar The Flinstones.

 

Tepat pukul 19.30, dua bis TJ Cakraningrat datang bersamaan. Benar, hanya satu yang singgah, satunya berlalu. Saya naik lalu membayar uang tunai karena kartu e-Toll saya tidak terbawa. Penumpang tidak seberapa banyak. Hanya sebentar saya berdiri, di Burneh sudah dapat kursi, namun tidak lama karena seorang ibu-ibu naik dan saya pilih berdiri saja, memberikan kesempatan kepadanya sesuai aturan: “perempuan dan anak-anak harus diutamakan”.  

 

Turun di terminal, saya segera melangkah ke pojok selatan, menuju mushalla yang meskipun lampunya menyala, suasananya redup, menambah aura mistis terminal tipe-B tersebut. Untunglah airnya mengalir lancar, coba andai macet, lengkap sudah suasana horornya. Selesai menunaikan shalat jamak Maghirb-Isya, saya melirik pojok utara, ke arah warung sederhana yang biasanya saya dijamu gule dan sate kambing muda oleh Helmy Prasetya di sana. Kesederhanaan warung ini tergambar pada semua itemnya, pada bangunan, meja, lingkungannya, kecuali rasanya. Ya, rasanya mewah meraya. Sayang warung tutup, maka saya putuskan untuk segera berjalan kaki saja ke Mertajasa.  

 

Berjalan kaki dari terminal ke maqbarah Syaikhona Cholil bukan karena saya kurang duit, bukan karena tak ada ojek, bukan karena tidak ada Trans-Jatim yang parkir, melainkan memang karena itikad. Setelah menyeberang jalan dan mulai berjalan cepat, saya mengingat-ingat Kiai As’ad yang berjalan kaki membawa pesan Syaikhona untuk Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang dengan berjalan kaki. Tentu saja, yang saya lakukan bukanlah napak tilas, beda. Ini hanya sekadar empati saja, latihan tirakat kelas rendahan sembari belajar bersyukur karena telah diberi kaki yang kuat untuk melangkah. Saya mengingat orang-orang yang mengidap asam urat tinggi.

 

Saya punya prinsip “keseimbangan harian”, alih-alih “keseimbangan dalam hidup”. Jadi, karena tadi pagi di rumah sudah makan enak kare kambing, maka malam harinya harus ada aktivitas yang ‘tidak enak’, yaitu jalan kaki. Tahun lalu saya pernah ke Jogja dan dana terpakai hanya Rp7000 karena semuanya gratis, maka setiba di Kafe Basabasi, saya memilih hanya makan nasi sekepal dan dua potong tempe goreng (meskipun tuan rumah menawari saya makanan lezat yang tersedia). Begitulah saya melatih diri untuk membuat keseimbangan harian meskipun sering tidak terlupa atau tidak berhasil. Berjalan kaki di malam itu adalah salah satu wujudnya.

 

Sayang sekali, “tirakat versi pemula” kali ini ternodai oleh Soto Cak Bowo saat berangkat dan ngopi arabika di saat pulang. Tapi, mmm... tidak apa lah, sudah lumayan untuk langkah awal.

 

Selain ikut ngaji kitab Ta’limus Shibyan, kitab berbahasa Madura karya Syaikhona, kala itu merenungkan tentang usaha berat yang harus dilakukan oleh setiap pribadi di dalam hidup. Tidak ada giliran enak setelah enak, atau susah setelah susah. Semua bergantian sesuai siklus. Maka, setelah kita mendapatkan yang enak-enak, putuskan diri sendiri untuk melakukan perimbangannya, sebab kalau ngotot hanya mencari yang enak-enak dan mudah-mudah, maka yang pahit-pahit dan sulit-sulit diberikan kepada kita sebagai jatah dan kita tidak bisa lagi memilihnya.

 

Dalam perjalanan pulang, masih terngiang ucapan Kiai Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan (yang kira-kira redaksinya seperti ini, dan diulang-ulang oleh beliau beberapa kali): “Andai saja ada Syaikhona Kholil lagi di zaman ini....” 

 

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) bahsul masail (1) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) Bangkalan (1) bani (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bhasa Madura (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) horeg (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kasokan (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) screenshot (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturahmi (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (2) syawalan (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tirakat (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog