JUMAT, 11 April 2025, saya naik AKAS NR dari Pakamban, pukul 15.33. Mestinya, jam itu adalah saat MILA Sejahtera jurusan Jogjakarta melintas. Kok AKAS yang datang? Ya, sudah, saya cegat saja, khawatir kalau masih ngotot menunggu MILA akan semakin telat saya tiba di Bangkalan.
Ongkos bis dari Prenduan ke Tangkel itu beragam: 45.000 ikut AKAS NR; MILA biasanya 46.000, sedangkan AKAS Green kayaknya 50.000. Perjalanan saya ke Bangkalan adalah untuk menghadiri acara Satu Abad Syaikhona Kholil yang diselenggarakan di Mertajasa, Bangkalan.
Saya sampai di Tangkel sudah masuk waktu isya, agak telat, sih. Jumat sore selalu begitu. Jalanan pasti ramai dan lalu lintas tersendat karena banyak penglaju yang mudik, memanfaatkan libur Sabtu dan Ahad.
Kernet AKAS menurunkan saya di pertigaan (Pos Polisi Tangkel), padahal saya bilang halte Trans-Jatim. Kalau saya mau buruk sangka, saya akan menganggap kru AKAS cemburu para kehadiran “TJ” (Trans-Jatim) karena telah mengusik jatah penumpang bis-bis reguler seperti mereka. Maklum, tarif Surabaya-Bangkalan hanya Rp5000 untuk bis Koridor 5 “Cakraningrat”, sedangkan AKAS berkisar Rp30.000. Saya berusaha melupakan itu dengan cara segera berjalan kaki menuju selter, kira-kira 200 meter dari tempat ‘keturunan’ tadi.
Seorang ibu muda yang tadi turun bareng saya dari bis kini duduk bersebelahan di halte. Dari tadi dia gulung-gulung layar ponselnya, buka WhatsApp atau entah media sosial apa lainnya. Tiba-tiba dia bilang bahwa bis sudah nyampe Morkepek.
“Ini ada dua rentengan. Nanti biasanya satu saja yang singgah.”
“Kok ibu tahu?”
“Ada di aplikasi, kok, Mas” kata dia sambil menunjukkan ponselnya (sepertinya Vivo) kepada saya yang memegang NOKIA 8110. Seketika saya merasa wakil anggota keluarga besar The Flinstones.
Tepat pukul 19.30, dua bis TJ Cakraningrat datang bersamaan. Benar, hanya satu yang singgah, satunya berlalu. Saya naik lalu membayar uang tunai karena kartu e-Toll saya tidak terbawa. Penumpang tidak seberapa banyak. Hanya sebentar saya berdiri, di Burneh sudah dapat kursi, namun tidak lama karena seorang ibu-ibu naik dan saya pilih berdiri saja, memberikan kesempatan kepadanya sesuai aturan: “perempuan dan anak-anak harus diutamakan”.
Turun di terminal, saya segera melangkah ke pojok selatan, menuju mushalla yang meskipun lampunya menyala, suasananya redup, menambah aura mistis terminal tipe-B tersebut. Untunglah airnya mengalir lancar, coba andai macet, lengkap sudah suasana horornya. Selesai menunaikan shalat jamak Maghirb-Isya, saya melirik pojok utara, ke arah warung sederhana yang biasanya saya dijamu gule dan sate kambing muda oleh Helmy Prasetya di sana. Kesederhanaan warung ini tergambar pada semua itemnya, pada bangunan, meja, lingkungannya, kecuali rasanya. Ya, rasanya mewah meraya. Sayang warung tutup, maka saya putuskan untuk segera berjalan kaki saja ke Mertajasa.
Berjalan kaki dari terminal ke maqbarah Syaikhona Cholil bukan karena saya kurang duit, bukan karena tak ada ojek, bukan karena tidak ada Trans-Jatim yang parkir, melainkan memang karena itikad. Setelah menyeberang jalan dan mulai berjalan cepat, saya mengingat-ingat Kiai As’ad yang berjalan kaki membawa pesan Syaikhona untuk Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang dengan berjalan kaki. Tentu saja, yang saya lakukan bukanlah napak tilas, beda. Ini hanya sekadar empati saja, latihan tirakat kelas rendahan sembari belajar bersyukur karena telah diberi kaki yang kuat untuk melangkah. Saya mengingat orang-orang yang mengidap asam urat tinggi.
Saya punya prinsip “keseimbangan harian”, alih-alih “keseimbangan dalam hidup”. Jadi, karena tadi pagi di rumah sudah makan enak kare kambing, maka malam harinya harus ada aktivitas yang ‘tidak enak’, yaitu jalan kaki. Tahun lalu saya pernah ke Jogja dan dana terpakai hanya Rp7000 karena semuanya gratis, maka setiba di Kafe Basabasi, saya memilih hanya makan nasi sekepal dan dua potong tempe goreng (meskipun tuan rumah menawari saya makanan lezat yang tersedia). Begitulah saya melatih diri untuk membuat keseimbangan harian meskipun sering tidak terlupa atau tidak berhasil. Berjalan kaki di malam itu adalah salah satu wujudnya.
Sayang sekali, “tirakat versi pemula” kali ini ternodai oleh Soto Cak Bowo saat berangkat dan ngopi arabika di saat pulang. Tapi, mmm... tidak apa lah, sudah lumayan untuk langkah awal.
Selain ikut ngaji kitab Ta’limus Shibyan, kitab berbahasa Madura karya Syaikhona, kala itu merenungkan tentang usaha berat yang harus dilakukan oleh setiap pribadi di dalam hidup. Tidak ada giliran enak setelah enak, atau susah setelah susah. Semua bergantian sesuai siklus. Maka, setelah kita mendapatkan yang enak-enak, putuskan diri sendiri untuk melakukan perimbangannya, sebab kalau ngotot hanya mencari yang enak-enak dan mudah-mudah, maka yang pahit-pahit dan sulit-sulit diberikan kepada kita sebagai jatah dan kita tidak bisa lagi memilihnya.
Dalam perjalanan pulang, masih terngiang ucapan Kiai Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan (yang kira-kira redaksinya seperti ini, dan diulang-ulang oleh beliau beberapa kali): “Andai saja ada Syaikhona Kholil lagi di zaman ini....”