02 Mei 2025

Menghadiri Satu Abad Syaikhona Cholil


JUMAT, 11 April 2025, saya naik AKAS NR dari Pakamban, pukul 15.33. Mestinya, jam itu adalah saat MILA Sejahtera jurusan Jogjakarta melintas. Kok AKAS yang datang? Ya, sudah, saya cegat saja, khawatir kalau masih ngotot menunggu MILA akan semakin telat saya tiba di Bangkalan.

 

Ongkos bis dari Prenduan ke Tangkel itu beragam: 45.000 ikut AKAS NR; MILA biasanya 46.000, sedangkan AKAS Green kayaknya 50.000. Perjalanan saya ke Bangkalan adalah untuk menghadiri acara Satu Abad Syaikhona Kholil yang diselenggarakan di Mertajasa, Bangkalan. 

 Saya sampai di Tangkel sudah masuk waktu isya, agak telat, sih. Jumat sore selalu begitu. Jalanan pasti ramai dan lalu lintas tersendat karena banyak penglaju yang mudik, memanfaatkan libur Sabtu dan Ahad.

 

Kernet AKAS menurunkan saya di pertigaan (Pos Polisi Tangkel), padahal saya bilang halte Trans-Jatim. Kalau saya mau buruk sangka, saya akan menganggap kru AKAS cemburu para kehadiran “TJ” (Trans-Jatim) karena telah mengusik jatah penumpang bis-bis reguler seperti mereka. Maklum, tarif Surabaya-Bangkalan hanya Rp5000 untuk bis Koridor 5 “Cakraningrat”, sedangkan AKAS berkisar Rp30.000. Saya berusaha melupakan itu dengan cara segera berjalan kaki menuju selter, kira-kira 200 meter dari tempat ‘keturunan’ tadi.

 

Seorang ibu muda yang tadi turun bareng saya dari bis kini duduk bersebelahan di halte. Dari tadi dia gulung-gulung layar ponselnya, buka WhatsApp atau entah media sosial apa lainnya. Tiba-tiba dia bilang bahwa bis sudah nyampe Morkepek.

“Ini ada dua rentengan. Nanti biasanya satu saja yang singgah.

Kok ibu tahu?

Ada di aplikasi, kok, Mas” kata dia sambil menunjukkan ponselnya (sepertinya Vivo) kepada saya yang memegang NOKIA 8110. Seketika saya merasa wakil anggota keluarga besar The Flinstones.

 

Tepat pukul 19.30, dua bis TJ Cakraningrat datang bersamaan. Benar, hanya satu yang singgah, satunya berlalu. Saya naik lalu membayar uang tunai karena kartu e-Toll saya tidak terbawa. Penumpang tidak seberapa banyak. Hanya sebentar saya berdiri, di Burneh sudah dapat kursi, namun tidak lama karena seorang ibu-ibu naik dan saya pilih berdiri saja, memberikan kesempatan kepadanya sesuai aturan: “perempuan dan anak-anak harus diutamakan”.  

 

Turun di terminal, saya segera melangkah ke pojok selatan, menuju mushalla yang meskipun lampunya menyala, suasananya redup, menambah aura mistis terminal tipe-B tersebut. Untunglah airnya mengalir lancar, coba andai macet, lengkap sudah suasana horornya. Selesai menunaikan shalat jamak Maghirb-Isya, saya melirik pojok utara, ke arah warung sederhana yang biasanya saya dijamu gule dan sate kambing muda oleh Helmy Prasetya di sana. Kesederhanaan warung ini tergambar pada semua itemnya, pada bangunan, meja, lingkungannya, kecuali rasanya. Ya, rasanya mewah meraya. Sayang warung tutup, maka saya putuskan untuk segera berjalan kaki saja ke Mertajasa.  

 

Berjalan kaki dari terminal ke maqbarah Syaikhona Cholil bukan karena saya kurang duit, bukan karena tak ada ojek, bukan karena tidak ada Trans-Jatim yang parkir, melainkan memang karena itikad. Setelah menyeberang jalan dan mulai berjalan cepat, saya mengingat-ingat Kiai As’ad yang berjalan kaki membawa pesan Syaikhona untuk Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang dengan berjalan kaki. Tentu saja, yang saya lakukan bukanlah napak tilas, beda. Ini hanya sekadar empati saja, latihan tirakat kelas rendahan sembari belajar bersyukur karena telah diberi kaki yang kuat untuk melangkah. Saya mengingat orang-orang yang mengidap asam urat tinggi.

 

Saya punya prinsip “keseimbangan harian”, alih-alih “keseimbangan dalam hidup”. Jadi, karena tadi pagi di rumah sudah makan enak kare kambing, maka malam harinya harus ada aktivitas yang ‘tidak enak’, yaitu jalan kaki. Tahun lalu saya pernah ke Jogja dan dana terpakai hanya Rp7000 karena semuanya gratis, maka setiba di Kafe Basabasi, saya memilih hanya makan nasi sekepal dan dua potong tempe goreng (meskipun tuan rumah menawari saya makanan lezat yang tersedia). Begitulah saya melatih diri untuk membuat keseimbangan harian meskipun sering tidak terlupa atau tidak berhasil. Berjalan kaki di malam itu adalah salah satu wujudnya.

 

Sayang sekali, “tirakat versi pemula” kali ini ternodai oleh Soto Cak Bowo saat berangkat dan ngopi arabika di saat pulang. Tapi, mmm... tidak apa lah, sudah lumayan untuk langkah awal.

 

Selain ikut ngaji kitab Ta’limus Shibyan, kitab berbahasa Madura karya Syaikhona, kala itu merenungkan tentang usaha berat yang harus dilakukan oleh setiap pribadi di dalam hidup. Tidak ada giliran enak setelah enak, atau susah setelah susah. Semua bergantian sesuai siklus. Maka, setelah kita mendapatkan yang enak-enak, putuskan diri sendiri untuk melakukan perimbangannya, sebab kalau ngotot hanya mencari yang enak-enak dan mudah-mudah, maka yang pahit-pahit dan sulit-sulit diberikan kepada kita sebagai jatah dan kita tidak bisa lagi memilihnya.

 

Dalam perjalanan pulang, masih terngiang ucapan Kiai Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan (yang kira-kira redaksinya seperti ini, dan diulang-ulang oleh beliau beberapa kali): “Andai saja ada Syaikhona Kholil lagi di zaman ini....” 

 

07 April 2025

Mengenang Kiai Ali Syakir

Setelah seseorang meninggal dunia, maka akan tersisa namanya, amalnya, hal-hal yang mendalam yang paling berkesan darinya yang tetap eksis di dalam ingatan seseorang atau komunitas. Itulah sejatinya warisan terbesar yang ditinggalkan oleh seseorang ketika dia sudah berpulang. Ini berlaku bagi siapa pun, termasuk bagi KH Muhammad Ali Syakir.

Bagi sebagian anggota kelompok pengajian Al-Mahabbah Shonar Pornama, yang terkenang dari Kiai Syakir tentu aktivitas beliau dalam bermasyarakat, terutama dalam mengajak orang bershalawat. Beliau telah merintis majlis ini dari kecil hingga sekarang menjadi sangat besar. Jamaahnya ribuan. Acaranya selalu meriah. Banyak kisah teladan yang dapat dipetik dari kegiatannya. Sebab itu, pada saat beliau dikabarkan wafat pada tangga 1 Syawal 1446 lalu (Senin, 31 Maret 2025), masyarakat datang berduyun-duyun menghadiri penguburannya, menjadi saksi kebaikan seorang tokoh yang sangat muda (usia kepala empat) tapi telah membuat dampak kebaikan yang sangat besar di dalam masyarakat.  

Saya pun juga begitu, punya kesan yang amat baik dan mendalam terhadap kiprahnya, tapi dalam hal lain. Saya ingat sekitar 12 tahun yang lalu beliau menggandeng masyarakat setempat untuk memperbaiki jalan residental yang ada desanya yang rusak parah tanpa tersentuh perbaikan selama bertahun-tahun. Beliau membuat amal di tepi jalan yang umumnya dilakukan masyarakat untuk pembangunan masjid, tapi ini untuk memperbaiki jalan. Hal itu juga ia lakukan lagi di tahun yang lalu, 2024, sehingga saat beliau wafat, jalan rusak di depan komplek madrasahnya sudah bagus.

Membut cegatan amal di jalan umum memang berpotensi menjadi terlarang jika ia mengganggu orang yang melintas karena mereka punya hak untuk itu. Tapi bagaimana jika cegatan itu untuk kebaikan mereka? Yaitu untuk memperbaiki jalan yang mereka lewati? Dari cerita yang saya dapatkan, hasil sumbangan dana yang diperoleh di situ jauh lebih cepat terkumpul dengan mereka yang membuat hal serupa untuk pembangunan masjid. Ini akan ‘pekerjaan rumah’ baru bagi kita semua tentang banyak hal: tentang pemerintah yang justru disokong oleh rakyatnya, tentang kemandirian yang nyaris terlalu mandiri sehingga yang bertanggung jawab malah bermanja, dan tentang banyak pelajaran kebaikan lain yang dapat kita renungkan.

Saya sudah sampaikan kepada salah satu saudaranya (Lora Abror) pada saat takziyah bahwa yang paling terkesan dari beliau adalah itikad baiknya untuk fasilitas umum, mempermudah orang melintas, dan semua itu ada hadis dan dalilnya. Saya bersaksi bahwa yang dia lakukan itu insya Allah akan menjadi salah satu jalan pintas yang akan memudahkannya menuju Surga, yaitu memudahkan orang untuk melintas sebagai tergambar dalam hadis Nabi 


 عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال
 «لقد رأيت رجلا يَتَقَلَّبُ في الجنة في شجرة قطعها من ظهر الطريق كانت تؤذي المسلمين»

Saya menulis ini sebagai kesan baik dan persaksian baik sepulang menghadiri acara hari-7 wafatnya, barusan. 

 

17 Maret 2025

Berpuasa di Rumah Sakit

Yang ada di bawah ini adalah pengalaman seorang perempuan, bukan saya. Sayang sekali kalau tidak saya tuliskan di sini pengalamannya sebab saya tidak menyangka dia mengalami pengalaman seperti itu. Ini tentang pengalaman orang yang tidak menyangka sama sekali kalau di sekitarnya banyak orang-orang yang tidak berpuasa di lingkungan yang dikiranya berpuasa semua.

Saya beberapa hari ini ada di RSUD Sumenep karena menjaga anak yang sakit. Saya tidak tahu kalau lapar mau makan di mana. Hari ini saya haid, makanya saya tidak berpuasa. Setelah bertanya, orang menunjukkan kantin di belakang rumah sakit. Saya pun pergi ke sana siang hari.

Yang ada di dalam pikiran saya, nanti saya akan berjumpa dengan sesama orang yang tidak berpuasa, orang-orang seperti saya, ibu-ibu yang sedang haid atau sedang berhalangan berpuasa. Ternyata, setelah saya masuk ke kantin itu, saya hanya melihat satu orang perempuan, yaitu saya sendiri. Sisanya mungkin ada 15 orang bapak-bapak yang sedang makan dan merokok dan sambil ngopi. Di kantin itu, saya bahkan merasa ini bukan Ramadan, seolah-olah hari biasa, bukan bulan puasa.

Selama ini saya memang tinggal di lingkungan yang terbiasa berpuasa dan tidak pernah melihat orang yang tidak berpuasa kecuali hanya ibu-ibu yang sedang haid. Di rumah maupun di pondok selalu saja begitu yang saya lihat. Saya kira orang-orang di sini semuanya taat-taat. Di bulan Ramadan tahun 2025 ini saya menemukan kenyataan yang tidak disangka-sangka terutama karena hal itu terjadi di kantin rumah sakit di Sumenep, di kota yang tampaknya sangat religius.

Dalam hati saya bertanya, ini bapak-bapak punya masalah apa kok sampai tidak berpuasa? Saya kira mereka itu kuat sebagaimana laki-laki biasanya. Menahan lapar saja mereka ternyata tidak mampu, mana mungkin mereka kuat menghadapi ujian hidup yang sesungguhnya?


Pengalamannya itu terrjadi di tahun ini, 2025, di awal-awal bulan Ramadan 1446. Pengalaman seperti di atas mungkin juga Anda alami juga di tempat Anda, di Jawa atau di kota-kota besar. Tapi, yang demikian itu tidak mengherankan. Ini mengherankan karena terjadi di lingkungan yang sepertinya semua penduduknya taat dan relegius.

29 Desember 2024

Lampu Jauh dan Illeterate

Barusan saya pergi ke Prenduan. Saya naik sepeda motor Astrea Prima yang lampu utamanya masih menggunakan bohlam. Sinarnya tampak redup.

Motor buatan Honda di periode 1989-1991 ini, di zaman 2024, setelah 35 tahun luntang-luntung di dunia, banyak yang pajaknya sudah “disuntik mati” alias tidak dibayar lagi. Saya sering menjadi korban stereotifikasi seperti ini, seolah-olah motor saya juga begitu. Taat pajak untuk motor generasi segitu seolah-olah menjadi anomali di negeri pengemplang pajak.

Bukan soal pajak dan ketangguhan mesin yang mau saya ceritakan, melainkan soal lampu sepeda saya dan lampu-lampu sepeda motor lain yang berpapasan. Jarak dari rumah ke pertigaan Prenduan itu 7,5 kilometer. Dalam perjalanan barusan (21.30), saya berpapasan dengan 29 sepeda motor. Dari angka segitu, ada 13 sepeda motor yang lampunya dibiarkan menyala jauh (lampu atas; lampu jauh). Saking terangnya sinar-sinar lampu itu mengenai muka saya, beberapa kali saya sampai harus melambatkan laju kendaraan karena kesilauan hingga nyaris berhenti. Begitulah dampak kesilauan di saat cahaya kendaraan sendiri redup dan berpapasan dengan kendaraan lain yang sangat terang.  

Orang-orang yang membiarkan cahaya lampunya menyala tinggi dan terang sehingga mengenai muka pengendara dari lawan arah, alih-alih jalannya sendiri, bukanlah orang yang buta huruf. Mereka adalah orang dewasa yang saya yakin pasti bisa membaca dan menulis. Jika ada istilah illiterate, saya kira jenis orang seperti inilah contohnya: mereka yang bisa baca tulis tapi tidak terberdayakan oleh apa pun dari yang dibaca dan ditulis.

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) bani (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturahmi (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (2) syawalan (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tirakat (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog